Dewan Pers Menolak Revisi RUU Penyiaran, Khawatir Melahirkan Pers yang Tidak Merdeka dan Produk Jurnalistik yang Buruk


JAKARTA - Dewan Pers menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dewan Pers berpendapat bahwa RUU Penyiaran tersebut dapat melahirkan pers yang tidak merdeka dan produk jurnalistik yang buruk. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengungkapkan bahwa pihaknya menghormati DPR dan pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menyusun regulasi, termasuk dalam hal pemberitaan pers baik melalui media cetak, elektronik, dan lainnya. Namun, terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolaknya karena dianggap tidak memenuhi hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ninik menjelaskan beberapa alasan di balik penolakan tersebut. Dalam konteks politik hukum, Dewan Pers menilai bahwa tidak dimasukkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran RUU Penyiaran tidak mencerminkan integritas jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang bisa terjadi melalui saluran platform. RUU Penyiaran ini dianggap sebagai salah satu penyebab pers yang tidak merdeka, tidak independen, dan tidak menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas. Dewan Pers berpandangan bahwa sebagian aturan dalam RUU ini akan menghasilkan produk pers yang buruk, tidak profesional, dan tidak independen. Ninik juga menyoroti proses penyusunan RUU Penyiaran yang dianggap melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang penyusunan regulasi yang harus melibatkan partisipasi masyarakat atau meaningful participation. Dewan Pers dan konstituen sebagai penegak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran ini. Dewan Pers juga menyoroti larangan terhadap media investigatif yang diatur dalam RUU Penyiaran tersebut. Menurut Ninik, larangan tersebut bertentangan dengan mandat yang ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Media investigatif merupakan salah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional. Selain itu, Dewan Pers juga menyinggung mengenai penyelesaian sengketa jurnalistik yang diatur oleh lembaga yang sebenarnya tidak memiliki mandat penyelesaian etik terhadap kartu jurnalistik. Ninik menjelaskan bahwa Dewan Pers adalah lembaga yang diberi amanat oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pers. Oleh karena itu, penolakan ini didasarkan pada perlunya proses harmonisasi antara undang-undang yang satu dengan yang lain agar tidak ada tumpang tindih. Dewan Pers menegaskan bahwa DPR akan berhadapan dengan komunitas pers jika melanjutkan pembahasan RUU Penyiaran ini. Mereka menolak draf revisi RUU Penyiaran yang saat ini sedang disusun oleh Badan Legislasi DPR RI. Jika proses ini diteruskan, DPR akan menghadapi penolakan dari komunitas pers.(adv)

Komentar